Suatu hari aku mendapat pengalaman yang tentunya baru untuk gadis
seukuranku. Oya, aku gadis keturunan Cina dan Pakistan. Sehingga wajar
saja kulitku terlihat putih bersih dan satu lagi, ditaburi dengan
bulu-bulu halus di sekujur tubuh yang tentu saja sangat disukai lelaki.
Kata teman-teman, aku ini cantik lho.
Memang siang ini cuacanya cukup panas, satu persatu pakaian yang
menempel di tubuhku kulepas. Kuakui, kendati masih ABG tetapi aku
memiliki tubuh yang lumayan montok. Bila melihat lekuk-lekuk tubuh ini
tentu saja mengundang jakun pria manapun untuk tersedak. Dengan rambut
kemerah-merahan dan tinggi 167 cm, aku tampak dewasa. Sekilas, siapapun
mungkin tidak percaya kalau akuadalah seorang pelajar. Apalagi bila
memakai pakaian casual kegemaranku. Mungkin karena pertumbuhan yang
begitu cepat atau memang sudah keturunan, entahlah. Tetapi yang jelas
cukup mempesona, wajah oval dengan leher jenjang, uh.. entahlah.
Pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah, seperti biasanya aku berpamitan
dengan kedua orangtuaku. Cium pipi kiri dan kanan adalah rutinitas dan
menjadi tradisi di keluarga ini. Tetapi yang menjadi perhatianku siang
ini adalah ciuman Papa. Seusai sarapan pagi, ketika Mama beranjak menuju
dapur, aku terlebih dahulu mencium pipi Papa. Papa Robi (begitu
namanya) bukan mencium pipiku saja, tetapi bibirku juga. Seketika itu,
aku sempat terpaku sejenak. Entah karena terkejut untuk menolak atau
menerima perlakukan itu, aku sendiri tidak tahu.
Papa Robi sudah setahun ini menjadi Papa tiriku. Sebelumnya, Mama sempat
menjanda tiga tahun. Karena aku dan kedua adikku masih butuh seorang
ayah, Mama akhirnya menikah lagi. Papa Robi memang termasuk pria tampan.
Usianya pun baru 38 tahun. Teman-teman sekolahku banyak yang cerita
kalau aku bersukur punya Papa Robi.
"Salam ya sama Papa kamu.." ledek teman-temanku.
Aku sendiri sebenarnya sedikit grogi kalau berdua dengan Papa. Tetapi
dengan kasih sayang dan pengertian layaknya seorang teman, Papa pandai
mengambil hatiku. Hingga akhirnya aku sangat akrab dengan Papa, bahkan
terkadang kelewat manja. Tetapi Mama tidak pernah protes, malah dia
tampak bahagia melihat keakraban kami.
Tetapi ciuman Papa tadi pagi sungguh diluar dugaanku. Aku memang
terkadang sering melendot sama Papa atau duduk sangat dekat ketika
menonton TV. Tetapi ciumannya itu lho. Aku masih ingat ketika bibir Papa
menyentuh bibir tipisku. Walau hanya sekejab, tetapi cukup membuat bulu
kudukku merinding bila membayangkannya. Mungkin karena aku belum pernah
memiliki pengalaman dicium lawan jenis, sehingga aku begitu terkesima.
"Ah, mungkin Papa nggak sengaja.." pikirku.
Esok paginya seusai sarapan, aku mencoba untuk melupakan kejadian
kemarin. Tetapi ketika aku memberikan ciuman ke Mama, Papa beranjak dari
tempat duduknya dan menuju kamar. Mau tidak mau kuikuti Papa ke kamar.
Aku pun segera berjinjit untuk mencium pipi Papa. Respon Papa pun
kulihat biasa saja. Dengan sedikit membungkukkan tubuh atletisnya, Papa
menerima ciumanku. Tetapi setelah kucium kedua pipinya, tiba-tiba Papa
mendaratkan bibirnya ke bibirku. Serr.., darahku seketika berdesir.
Apalagi bulu-bulu kasarnya bergesekan dengan bibir atasku. Tetapi entah
kenapa aku menerimanya, kubiarkan Papa mengulum lembut bibirku. Hembusan
nafas Papa Robi menerpa wajahku. Hampir satu menit kubiarkan Papa
menikmati bibirku.
"Baik-baik di sekolah ya.., pulang sekolah jangan keluyuran..!" begitu yang kudengar dari Papa.
Sejak kejadian itu, hubungan kami malah semakin dekat saja. Keakraban
ini kunikmati sekali. Aku sudah dapat merasakan nikmatnya ciuman seorang
lelaki, kendati itu dilakukan Papa tiriku, begitu yang tersirat dalam
pikiranku. Darahku berdesir hangat bila kulit kami bersentuhan.
Begitulah, setiap berangkat sekolah, ciuman ala Papa menjadi tradisi.
Tetapi itu rahasia kami berdua saja. Bahkan pernah satu hari, ketika
Mama di dapur, aku dan Papa berciuman di meja makan. Malah aku sudah
berani memberikan perlawanan. Lidah Papa yang masuk ke rongga mulutku
langsung kuhisap. Papa juga begitu. Kalau tidak memikirkan Mama yang
berada di dapur, mungkin kami akan melakukannya lebih panas lagi.
Hari ini cuaca cukup panas. Aku mengambil inisiatif untuk mandi.
Kebetulan aku hanya sendirian di rumah. Mama membawa kedua adikku
liburan ke luar kota karena lagi liburan sekolah. Dengan hanya
mengenakan handuk putih, aku sekenanya menuju kamar mandi. Setelah
membersihkan tubuh, aku merasakan segar di tubuhku.
Begitu hendak masuk kamar, tiba-tiba satu suara yang cukup akrab di telingaku menyebut namaku.
"Vin.. Vin.., Papa pulang.." ujar lelaki yang ternyata Papaku.
"Kok cepat pulangnya Pa..?" tanyaku heran sambil mengambil baju dari lemari.
"Iya nih, Papa capek.." jawab papa dari luar.
"Kamu masak apa..?" tanya papa sambil masuk ke kamarku.
Aku sempat kaget juga. Ternyata pintu belum dikunci. Tetapi aku coba
tenang-tenang saja. Handuk yang melilit di tubuhku tadinya kedodoran,
aku ketatkan lagi. Kemudian membalikkan tubuh. Papa rupanya sudah
tiduran di ranjangku.
"Ada deh..," ucapku sambil memandang Papa dengan senyuman.
"Ada deh itu apa..?" tanya Papa lagi sambil membetulkan posisi tubuhnya dan memandang ke arahku.
"Memangnya kenapa Pa..?" tanyaku lagi sedikit bercanda.
"Nggak ada racunnya kan..?" candanya.
"Ada, tapi kecil-kecil.." ujarku menyambut canda Papa.
"Kalau gitu, Papa bisa mati dong.." ujarnya sambil berdiri menghadap ke arahku.
Aku sedikit gelagapan, karena posisi Papa tepat di depanku.
"Kalau Papa mati, gimana..?" tanya Papa lagi.
Aku sempat terdiam mendengar pertanyaan itu.
"Lho.., kok kamu diam, jawab dong..!" tanya Papa sambil menggenggam kedua tanganku yang sedang memegang handuk.
Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bukan jawabannya
yang membuatku diam, tetapi keberadaan kami di kamar ini. Apalagi
kondisiku setengah bugil. Belum lagi terjawab, tangan kanan Papa
memegang daguku, sementara sebelah lagi tetap menggenggam tanganku
dengan hangat. Ia angkat daguku dan aku menengadah ke wajahnya. Aku diam
saja diperlakukan begini. Kulihat pancaran mata Papa begitu tenangnya.
Lalu kepalanya perlahan turun dan mengecup bibirku. Cukup lama Papa
mengulum bibir merahku. Perlahan tetapi pasti, aku mulai gelisah.
Birahiku mulai terusik. Tanpa kusadari kuikuti saja keindahan ini.
Nafsu remajaku mulai keluar ketika tangan kiri Papa menyentuh payudaraku
dan melakukan remasan kecil. Tidak hanya bibirku yang dijamah bibir
tebal Papa. Leher jenjang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu pun tidak
luput dari sentuhan Papa. Bibir itu kemudian berpindah ke telingaku.
"Pa.." kataku ketika lidah Papa masuk dan menggelitik telingaku.
Papa kemudian membaringkan tubuhku di atas kasur empuk.
"Pa.. nanti ketahuan Mama.." sebutku mencoba mengingatkan Mama.
Tetapi Papa diam saja, sambil menindih tubuhku, bibirku dikecupnya lagi.
Tidak lama, handuk yang melilit di tubuhku disingkapkannya.
"Vina, tubuh kamu sangat harum.." bisik Papa lembut sambil mencampakkan guling ke bawah.
Dalam posisi ini, Papa tidak puas-puasnya memandang tubuhku. Bulu halus
yang membalut kulitku semakin meningkatkan nafsunya. Apalagi begitu
pandangannya mengarah ke payudaraku.
"Kamu udah punya pacar, Vin..?" tanya Papa di telingaku.
Aku hanya menggeleng pasrah.
Papa kemudian membelai dadaku dengan lembut sekali. Seolah-olah menemukan mainan baru, Papa mencium pinggiran payudaraku.
"Uuhh..," desahku ketika bulu kumis yang dipotong pendek itu menyentuh
dadaku, sementara tangan Papa mengelus pahaku yang putih. Puting susu
yang masih merah itu kemudian dikulum.
"Pa.. oohh.." desahku lagi.
"Pa.. nanti Mamm.." belum selesai kubicara, bibir Papa dengan sigap kembali mengulum bibirku.
"Papa sayang Vina.." kata Papa sambil memandangku.
Sekali lagi aku hanya terdiam. Tetapi sewaktu Papa mencium bibirku, aku
tidak diam. Dengan panasnya kami saling memagut. Saat ini kami sudah
tidak memikirkan status lagi. Puas mengecup putingku, bibir Papa pun
turun ke perut dan berlabuh di selangkangan. Papa memang pintar
membuatku terlena. Aku semakin terhanyut ketika bibir itu mencium
kemaluanku. Lidahnya kemudian mencoba menerobos masuk. Nikmat sekali
rasanya. Tubuhku pun mengejang dan merasakan ada sesuatu yang mengalir
cepat, siap untuk dimuntahkan.
"Ohh, ohh.." desahku panjang.
Papa rupanya tahu maniku keluar, lalu dia mengambil posisi bersimpuh di
sebelahku. Lalu mengarahkan tanganku ke batang kemaluannya. Kaget juga
aku melihat batang kemaluannya Papa, besar dan tegang. Dengan mata yang
sedikit tertutup, aku menggenggamnya dengan kedua tanganku. Setan yang
ada di tubuh kami seakan-akan kompromi. Tanpa sungkan aku pun mengulum
benda itu ketika Papa mengarahkannya ke mulutku.
"Terus Vin.., oh.. nikmatnya.." gumamnya.
Seperti berpengalaman, aku pun menikmati permainan ini. Benda itu keluar
masuk dalam mulutku. Sesekali kuhisap dengan kuat dan menggigitnya
lembut. Tidak hanya Papa yang merasakan kenikmatan, aku pun merasakan
hal serupa. Tangan Papa mempermainkan kedua putingku dengan tangannya.
Karena birahi yang tidak tertahankan, Papa akhirnya mengambil posisi di
atas tubuhku sambil mencium bibirku dengan ganas. Kemudian kejantanannya
Papa menempel lembut di selangkanganku dan mencoba menekan. Kedua
kakiku direntangkannya untuk mempermudah batang kemaluannya masuk.
Perlahan-lahan kepala kontol itu menyeruak masuk menembus selaput
dinding vaginaku.
"Sakit.. pa.." ujarku.
"Tenang Sayang, kita nikmati saja.." jawabnya.
Pantat Papa dengan lembut menekan, sehingga penis yang berukuran 17 cm dan berdiameter 3 cm itu mulai tenggelam keseluruhan.
Papa melakukan ayunan-ayunan lagi. Kuakui, Papa memang cukup lihai.
Perasaan sakit akhirnya berganti nikmat. Baru kali ini aku merasakan
kenikmatan yang tiada taranya. Pantas orang bilang surga dunia. Aku
mengimbangi kenikmatan ini dengan menggoyang-goyangkan pantatku.
"Terus Vin, ya.. seperti itu.." sebut Papa sambil mempercepat dorongan penisnya.
"Papa.. ohh.., ohh.." renguhku karena sudah tidak tahan lagi.
Seketika itu juga darahku mengalir cepat, segumpal cairan putih meleleh
di bibir vaginaku. Kutarik leher Papa hingga pundaknya kugigit keras.
Papa semakin terangsang rupanya. Dengan perkasa dikuasainya diriku.
Vagina yang sudah basah berulangkali diterobos penis papa. Tidak jarang
payudaraku diremas dan putingku dihisap. Rambutku pun dijambak Papa.
Birahiku kembali memuncak. Selama tiga menit kami melakukan gaya
konvensional ini. Tidak banyak variasi yang dilakukan Papa. Mungkin
karena baru pertama kali, dia takut menyakitiku.
Kenikmatan ini semakin tidak tertahankan ketika kami berganti gaya.
Dengan posisi 69, Papa masih perkasa. Penis Papa dengan tanpa kendali
keluar masuk vaginaku.
"Nikmat Vin..? Ohh.. uhh.." tanyanya.
Terus terang, gaya ini lebih nikmat dari sebelumnya. Berulangkali aku melenguh dan mendesah dibuatnya.
"Pa.. Vina nggak tahan.." katakuku ditengah terjangan Papa.
"Sa.. sa.. bar Sayang.., ta.. ta.. han dulu.." ucap Papa terpatah-patah.
Tetapi aku sudah tidak kuat lagi, dan untuk ketiga kalinya aku mengeluarkan mani kembali.
"Okhh.. Ohkk.. hh..!" teriakku.
Lututku seketika lemas dan aku tertelungkup di ranjang. Dengan posisi
telungkup di ranjang membuat Papa semakin belingsatan. Papa semakin kuat
menekan penisnya. Aku memberikan ruang dengan mengangkat pantatku
sedikit ke atas. Tidak berapa lama dia pun keluar juga.
"Okhh.. Ohh.. Ohk.." erang Papa.
Hangat rasanya ketika mani Papa menyiram lubang vaginaku.
Dengan peluh di tubuh, Papa menindih tubuhku. Nafas kami berdua
tersengal-sengal. Sekian lama Papa memelukku dari belakang, sementara
mataku masih terpejam merasakan kenikmatan yang baru pertama kali
kualami. Dengan penis yang masih bersarang di vaginaku, dia mencium
lembut leherku dari belakang.
"Vin, Papa sayang Vina. Sebelum menikahi Mamamu, Papa sudah tertarik sama Vina.." ucap Papa sambil mengelus rambutku.
Mama dan adikku, tiga hari di rumah nenek. Selama tiga hari itu pula,
aku dan Papa mencari kepuasan bersama. Entah setan mana yang merasuki
kami, dan juga tidak tahu sudah berapa kali kami lakukannya. Terkadang
malam hari juga, walaupun Mama ada di rumah. Dengan alasan menonton bola
di TV, Papa membangunkanku, yang jelas perbuatan ini kulakukan hingga
sekarang.
End