Dari bagian 2
Beberapa saat kemudian terlihat Adli keluar dari kamar mandi. Dia hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Kuperhatikan setiap lekuk pada tubuh yang bagus dan tegap itu. Lalu kutersenyum padanya.
"Kenapa Neng?" Tanya Adli.
"Ah nggak, seneng aja ngeliat orang keren," kataku merayu.
Wajah Adli terlihat senang. Kugamit lengannya agar ia lalu mendekat, setelah itu kutarik handuknya lepas. Batang kejantanan Adli terpampang di depanku, sudah tegang keras kembali.
"Lho," tanyaku heran, "kok masih keras sih.
Tersenyum Adli menjelaskan, "Tadi sih udah nggak lagi, tapi begitu ngeliat Neng Mimien jadi bangun lagi."
Sekarang giliran dia yang membuat hatiku senang dengan kata-katanya. Segera kutarik tangannya, kuminta ia membaringkan tubuhnya di ranjang. Kuciumi wajah pemuda yang telah memikat hatiku ini, sehingga sampai membuatku terlupa pada rumah-tanggaku sendiri. Kugigiti dia dengan lembut bercambur gemas mulai dari leher, lalu bahu dan dadanya, dan setelah itu sepanjang pinggangnya. Setelah itu kuteruskan ke arah bawah hingga ke sekitar selangkangannya. Tapi kali iini aku hanya menciumi batang kemaluan Adli sekedarnya saja. Sempat kulirik Adli menatapku dengan pandangan heran. Tapi kuteruskan saja menciumi paha dan betisnya hingga aku sampai di kakinya. Waktu jempol kakinya kuemut Adli menjerit,
"Aduh Neng jangan, kasihan Neng Mimien."
Setelah itu kecupan-kecupan bibirku bergerak menuju ke atas lagi, hingga aku berhenti di sekitar selangkangannya. Tubuh Adli terlihat berkeringat, padahal udara malam itu cukup dingin. Rupanya apa yang baru kulakukan tadi telah memacu birahinya.
"Enak nggak Adli?" tanyaku ingin memastikan.
"Aduh Neng, Adli nggak pernah ngebayangin seperti ini rasanya."
Jawabannya membuat hatiku berbunga-bunga. Dengan penuh semangat aku mulai menjilati kepala dan batang kemaluannya. Lidahku menyapu semua sudut kemaluan yang besar dan keras itu. Tidak lupa kujilati juga buah zakarnya, hingga Adli menjerit keenakan. Apalagi waktu pantatnya kugigit-gigit lembut. Karena masih ingin merangsang Adli lebih jauh lagi kudorong bagian bawah pahanya ke atas. Lalu kujilati sekitar duburnya.
"Aduh Neng, aduh, ampun Neng," Adli mengerang keras sekali.
Karena kuatir didengar orang kuhentikan jilatanku itu. Langsung batang kemaluan Adli aku kulum dalam dan setelah itu kuemut-emut dengan bernafsu.
Beberapa saat kemudian Adli menarik tanganku lembut,
"Sini Neng.. Adli belum pernah ngalamin yang seperti begini.. Terima kasih ya Neng!"
Kemudian dimintanya aku berbaring menelentang. Sebelum timbul pikiran macam-macam di benak pemuda, cepat kutarik batang kejantanannya ke mulutku dan kuemut-emut dengan penuh gairah. Setelah itu terjadilah sesuatu yang tidak kubayangkan akan sebelumnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke arah bawah, dalam posisi 69 berlawanan arah dengan tubuhku. Didekatkannya wajahnya yang tampan itu ke arah selangkanganku. Dijilatinya seluruh bagian kemaluanku. Dipeluk dan ditariknya pantatku, lalu dijilatinya duburku seperti tadi telah kulakukan padanya. Kalau tidak kugigit bibirku pastilah aku sudah menjerit-jerit kegelian.
Sewaktu dia kembali menjilati kemaluanku hampir saja aku mencapai puncak orgasmeku.
"Adli, sayang, udah ah saya nggak tahan," kataku memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan pandangan bertanya. Terpaksa kujelaskan bahwa belum tentu aku setahan dia. Kalau nanti aku orgasme duluan bisa mengganggu pelayananku kepadanya. Setelah mau mengerti Adli kembali ke posisi semula, yaitu mengangkangi tubuh bagian atasku. Kumulai lagi menjilati dan mengemut tonggak kejantanan Adli yang keras itu. Sambil tentunya tanganku sendiri mengusap-usap kemaluanku yang tadi sudah dirangsang Adli. Lama-kelamaan mulai terasa cairan kental agak asin di mulutku. Kelihatannya Adli sudah mendekati saat-saat puncaknya. Sayangnya tiba-tiba aku merasa agak mual. Terpaksa kuakali Adli dengan meminta sesuatu yang berbeda dari tadi malam.
"Adli, nanti waktu keluar siramin ya ke atasnya saya."
Ia bertanya heran, "Mau Neng seperti begitu, ditumpahin pejuhnya saya?"
Kuyakinkan Adli, "Mau dong kan enak.. Oh iya nanti kalau kamu udah keluar punya saya kamu usapin ya, biar saya juga puas."
Setelah itu kembali kuemut-emut batang kemaluan Adli, sambil kukocok-kocok keras. Tidak terlalu lama kemudian terdengar Adli mengerang dan mengaduh. Sesuai permintaanku tadi ditariknya tonggak kejantanannya dari dalam mulutku. Lalu dia mengambil alih dengan mengocoknya sendiri. Kuatur posisi diriku sambil tanganku terus meremas-remas pahanya yang keras berotot. Waktu Adli mulai berejakulasi, aku mengaduh kaget. Cairan yang tadinya kuharap akan jatuh di dadaku, atau paling jauh leherku, ternyata begitu kuat semburannya sehingga tertumpah di wajahku. Mendengar eranganku rupanya Adli mengira aku menyukainya. Didekatkannya barang kejantanannya ke wajahku. "Ah.. ini Neng.. ah.. ah."
Semburan demi semburan air mani tersiram ke wajahku. Terpaksa kucoba menikmati itu semua sebisaku. Sementara itu kurasa telapak tangan Adli yang kasar meraba selangkangan dan celah pahaku, berusaha membawaku juga diriku ke puncak orgasme. Dalam keadaan terangsang mulutku mencari batang kejantanan Adli. Seperti semalam sebelumnya ternyata masih dalam keadaan sangat keras, dan tetap besar, walaupun sudah mengalami ejakulasinya. Dengan cepat kumasukkan barang kepunyaan Adli itu ke dalam mulutku dan kuemut-emut lagi. Adli mengerang keenakan dan mengaduh kegelian. Dalam keadaan itulah aku juga mencapai puncak pengalamanku di malam ini.
Melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai Adli menyuruhku berbaring santai. Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi ia kembali membawa handuk yang telah dibasahinya dengan air hangat. Dibersihkannya seluruh tubuhku dengan telaten dan penuh perhatian. Sambil merebahkan tubuhnya masih sempat ia berkata,
"Aduh Neng, enak sekali rasanya."
"Iya Adli, saya juga puas sekali," jawabku sambil beringsut mendekatinya.
Kali ini aku yang ingin dipeluknya. Demikianlah selanjutnya akupun terlelap dalam aku dibuaiannya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk berlaga seolah-olah tidak sadar. Begitulah ternyata malam ini aku dan Adli kembali dipertemukan. Barangkali memang sudah jodohnya.
"Neng, neng Mimien, sekarang Adli masukin ya?"
Suara pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan permintaannya.
"Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya, soalnya..," aku kebingungan memilih kata-kata yang tepat. Adli tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang kumaksud dengan berkata,
"Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini ya?"
Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Adli telah dapat membaca pikiranku. Kemudian Adli membuka selangkanganku, sementara mengemut-emut puting dadaku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga. Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ujung kejantanannya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak takut.
Ketika Adli mendorong kepunyaannya itu masuk, rasa pedih yang amat sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata kepunyaanku agak sempit dibanding kepunyaannya.
"Aduh Adli sakit..," sambil kugigit bibirku.
Dia berhenti sejenak, lalu mulai mendorong alatnya kejantanannya kembali. Setelah kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Adli mendorong agak keras, hingga membuatku menjerit.
"Aduh, aduh, aduh, sakit sekali sayang.."
Sambil kucoba merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari liang kemaluanku akhirnya semakin mempermudah gerakan alat kejantanan Adli, sehingga dapat bergerak maju mundur lancar. Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang baru sekali ini aku rasakan.
Belum pernah liang kewanitaanku menerima kunjungan benda asing milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini pengalaman yang kumiliki hanyalah dengan Mas Heru. Dibanding suamiku, kelebihan Adli bukan hanya karena ukuran alat vitalnya yang besar, tetapi dia sendiri juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu, sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. Setelah perasaanku mereda baru kusadari bahwa Adli masih dengan gagah menunggangiku. Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa mengimbangi keperkasaannya.
Menjelang Adli mencapai klimaksnya, masih sekali lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar Adli berkata,
"Sekarang Adli lepas ya," aku hanya dapat mengiyakannya saja.
Begitu kukatakan, "Iya Dli, iya sayang, tolong sekarang.. akh."
Langsung Adli memperhebat gerakan menghunjamnya.
"Neng, neng Mimien, neng.. aduh neng.. aahh," demikian Adli meracau sambil mendorong kepunyaannya sedalam-dalamnya memasuki liang kewanitaanku. Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara jari-jariku meremas punggungnya, karena orgasme yang juga sedang kualami. Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda. Adli masih membiarkan kepunyaannya di dalam kepunyaanku selama beberapa saat, setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari siramannya tadi ikut mengalir tertumpah di selangkanganku.
Nampaknya melakukan hubungan yang memuaskan itu cenderung membuat diriku lapar. Atas permintaanku Adli memesan hidangan dan minuman dari restaurant. Begitu tiba langsung kusantap dengan sepuas-puasnya. Setelah itu kuminta Adli untuk mengantarku pulang. Tetapi ternyata dia belum mau, karena katanya belum puas menyetubuhiku. Terpaksa kulayani dia sekali lagi. Ternyata permainan yang kedua ini juga tidak kalah dibanding yang pertama tadi. Kembali ia membawaku ke puncak orgasmeku, sebelum ia sendiri menyiramkan air maninya ke liang rahimku untuk kedua kalinya. Aku sungguh-sungguh merasa puas, kuyakin begitu pula dengan Adli. Akhirnya baru jam 1 malam aku memasuki rumahku. Untunglah Mas Heru sudah tertidur lelap, sehingga aku terlepas dari kewajiban untuk menjelaskan apapun padanya.
Suami Gelap
Hubunganku dengan Adli menjadi sangat akrab setelah peristiwa di malam itu. Ternyata dia sikapnya romantis, walaupun kemasan gayanya agak lugu. Bercinta dengannya akhirnya menjadi suatu kebutuhan rutin untukku. Kalau lebih dari seminggu tidak ditungganginya perasaan dan emosiku benar-benar menjadi kacau. Begitu pula halnya dengan Adli. Malah karena nafsu birahinya yang ternyata cukup besar, sering ia meminta jatahnya sampai dua kali seminggu. Untunglah hubungan kami tidak pernah sampai diketahui orang lain.
Demi nama baik dan martabat aku selalu berusaha untuk bersikap hati-hati. Demikian pula Mas Heru tidak pernah merasa curiga sama sekali. Beberapa bulan kemudian ternyata aku hamil. Baik Mas Heru maupun Adli menyambut kehamilanku itu dengan gembira. Demikian pula tentunya orang-tuaku dan orang-tua Mas Heru. Aku memang juga gembira, tapi juga kuatir apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Rasa kekuatiranku semakin bertambah karena anak yang kulahirkan ternyata tidak bisa dikatakan mirip dengan Mas Heru. Sekali lagi aku beruntung karena Mas Heru tidak merasa curiga sedikitpun. Sebelum tiga tahun berlalu aku dianugerahi seorang anak lagi. Sehingga lengkap sudah rasanya kebahagiaanku. Satu hal yang membuat kebahagiaanku semakin sempurna adalah sikap Mas Heru dan Adli yang baik. Mereka berdua sama-sama menyayangi anak-anakku, selainnya tentunya menyayangi diriku. Adli sendiri akhirnya juga mempunyai dua orang anak dari istrinya. Demi ayahnya, mereka aku dukung juga, terutama untuk pendidikannya. Dengan kegiatan usahaku yang semakin saja berkembang, dan asset kekayaan yang terus bertambah, aku cukup mampu untuk melakukan itu semua.
E N D