Papaku yang cuma bekerja sebagai pegawai rendahan, mana bisa memenuhi
kebutuhanku yang doyan hura-hura. Jangankan membelikanku mobil, sepeda
motor aja Papa enggak bisa. Dua orang adikku juga memilih tinggal
bersama Mama. Sama sepertiku, mereka juga doyan hura-hura. Ngabisin duit
Mama yang aku enggak tahu gimana caranya, selalu saja ada. Apa yang
kami minta selalu bisa dipenuhinya.
Namaku Tomi. Semester enam fakultas ekonomi di sebuah perguruan tinggi
swasta yang beken di Jakarta. Adikku Mimi. Juga kuliah di fakultas
ekonomi satu kampus denganku. Tapi dia masih duduk di semester dua.
Adikku yang paling kecil, Toni. Dia masih kelas tiga SMU.
Dari kecil selalu hidup bergelimang harta, dari penghasilan Mamaku,
membuat kehidupan glamour sangat melekat pada diri kami. Masing-masing
kami dibelikan Mama mobil sebagai alat transportasi. Uang jajan tak
pernah kurang. Karena itu aku dan adik-adikku tak pernah protes dengan
apapun yang dikerjakan oleh Mamaku. Aku dan adik-adikku selalu kompak
membela Mama. Termasuk saat bercerai dengan Papa. Padahal sebab
perceraian kedua orangtuaku itu adalah jelas-jelas karena kesalahan
Mama. Papa menangkap basah Mama sedang pesta sex dengan tiga orang
gigolo muda di hotel!
Meski begitu, aku dan adik-adikku tetap aja kompak membela Mama. Soalnya
belain Papa juga enggak ada untungnya. Lagian kelakuanku dan
adik-adikku juga enggak beda-beda amat sama Mama. Aku dan Toni pernah
bawa perek ke rumah. Si Mimi tahu tentang hal itu dan dia sih
santai-santai aja. Soalnya dia juga sering bawa cowok ganteng ke
kamarnya.
Setelah bercerai, rumah kami yang megah jadi seperti rumah bordil aja
deh. Mama, aku, Mimi, dan Toni, rutin bawa partner sex kemari. Karena
kami sama gilanya, jadi asyik. Kalau waktu ada Papa enggak asyik. Papa
suka rese. Meski tak bisa memarahi kelakukan binal anak-anaknya, tapi
Papa suka ngomel atau ngasih nasehat. Huh, menyebalkan aja Papaku itu.
Dari banyak cowok, si Willy yang paling sering dibawa Mama ke rumah. Dia
tuh, kayak suami baru Mama aja jadinya. Hampir tiap hari dia ada di
rumah. Paling kalau Mama lagi bosen dan ingin cari variasi pasangan
lain, barulah dia ngibrit dari rumahku, balik ke kostnya.
Karena seringnya si Willy di rumah, aku dan adik-adikku jadi akrab
dengan dia. Apalagi usianya enggak jauh dariku. Dia juga masih kuliah.
Umurnya hanya lebih tua dua tahun dariku. Obrolan kami nyambung. Tentang
apa saja. Otomotif, sport, musik, dan pasti ngesex. Hehe. Bisa
dibilang, si Willy ini piaraan Mama. Segala biaya hidupnya, Mamaku yang
nanggung.
Si Mimi paling senang dengan keberadaan Willy di rumah. Piaraan Mama itu dimanfaatinnya juga buat muasin nafsunya yang binal.
“Habisnya si Willy itu ganteng banget sih. Macho. Mana bodinya oke
banget lagi. Belum lagi kontolnya. Gede banget Tom. Ngesexnya
gila-gilaan. Pantes aja Mama paling demen ama dia dibandingin ama
gigolonya yang lain,” kata Mimi padaku suatu hari. Dasar nakal. Dasar
maniak tuh si Mimi.
Mendengar cerita si Mimi tentang kontolnya si Willy membuatku penasaran
juga. Eits. Jangan salah sangka dulu men. Aku bukan gay. Jelas-jelas aku
cowok straight. Cuman, dengar ukuran kontol orang sampai 28 sentimeter
kan jelas bikin penasaran. Jangankan aku, cowok lain pasti juga
penasaran. Gila aja kontol bisa segede itu!
Selama ini kupikir kontolku sudah paling gede. Panjangnya sekitar
delapan belas senti. Susah-susah lho, cari kontol sepanjang punyaku ini
di Indonesia. Ternyata punya si Willy malah lebih gila. sampai 28 senti
men, selisih sepuluh senti dari punyaku. Ambil penggarisan deh, liat
dari titik 0 senti sampai 28 senti, panjang banget kan ukuran segitu.
Meski penasaran, enggak mungkin kan aku permisi ke dia buat liat
kontolnya. Gila aja. enggak usah ya. Pernah kepikiran buatku untuk
ngintip dia saat ngentot dengan Mamaku atau si Mimi. Tapi males ah.
Ngapain juga ngeliat saudara kandung sendiri ngentot. enggak ada
seru-serunya. Entar aku jadi incest lagi. Bikin berabe aja.
Namun, yang namanya rezeki memang enggak kemana. Waktu itu malem hari.
Hampir dini hari malah. Aku baru pulang. Biasalah, ngabis-ngabisin duit
Mama. Semua orang sudah tidur kayaknya. Kerongkonganku rasanya kering
banget. Haus. Aku langsung ke dapur, ingin ngambil minuman dari lemari
es.
Pas aku nyampe di dapur aku terkesima. Kulihat Mama sedang berbaring
telentang di atas meja makan kami. Pakaian atasannya terbuka memamerkan
buah dadanya yang masih kencang dan besar. Sementara bagian bawah
tubuhnya tak menggenakan penutup apa-apa. Sekitar memeknya yang penuh
jembut lebat kulihat belepotan cairan putih kental sampai ke perutnya.
Banyak banget. Mama tak sadar dengan kehadiranku, karena saat itu ia
sedang memejamkan matanya sambil mendesah-desah.
“Ngg.. Enak banget Will,” katanya dengan suara mendesis. Rupanya dia baru aja dientot sama si Willy di atas meja makan itu.
Aku segera mengalihkan tatapanku dari tubuh Mamaku yang mengangkang itu.
Entah kenapa, kok aku rasakan aku kayaknya terangsang. Bisa berabe nih.
Pandanganku kualihkan ke lemari es. Saat menatap ke arah sana aku
kembali kaget. Disana berdiri si Willy. Dia tak menggenakan pakaian
apapun menutupi tubuhnya. Badannya yang tinggi dan kekar berotot itu
polos. Dia sedang menenggak coca cola dari botol.
Mataku langsung menatap ke arah kontolnya. Gila men. Si Mimi enggak
bohong. Di selangkangannya kulihat sebatang kontol dengan ukuran luar
biasa. Sedang mengacung tegak ke atas mengkilap karena belepotan
spermanya sendiri kayaknya. Batangnya gemuk, segemuk botol coca cola
yang sedang dipegangnya. Panjang banget. Kepala kontolnya yang kemerahan
seperti jamur melewati pusarnya. Batang gemuk itu penuh urat-urat. Aku
sampai melotot melihatnya. Kupandangi kontol itu dengan teliti. Ck..
Ck.. Ck.. Sadis.
“Baru pulang Tom?” kata Willy menegurku.
Ia sudah menyadari kehadiranku rupanya. Aku segera menolehkan
pandanganku dari kontolnya. Gawat kalau ia tahu aku sedang serius
mengamati detil kontolnya itu.
“He eh. Iya,” sahutku sambil mengangguk.
Untung saja lampu di dapur itu bernyala redup. kalau terang benderang,
pasti Willy bisa mengetahui kalau wajahku sedang bersemu merah saat itu.
Malu.
Mamaku yang sedang berbaring lemas diatas meja makan tiba-tiba melompat
bangun. Ia sibuk mencari-cari roknya untuk menutupi bagian bawah
tubuhnya yang terbuka.
“Eh, Tomi. sudah lama kau datang?” kata Mama dengan ekspresi malu.
“Baru aja ma,” sahutku.
Aku beraksi seperti tidak terjadi apa-apa disitu. Segera kuambil minuman
dingin dari lemari es. Tubuh Willy yang berkeringat tepat disampingku.
Saat mataku melirik ke arah dalam lemari es, mencari minuman,
kusempatkan untuk melirik sekali lagi ke arah batang kontol Willy. Kali
ini aku bisa melihatnya lebih jelas. Karena ada bantuan penerangan dari
lampu lemari es. Gila! Bagus banget bentuk kontolnya, pikirku.
Setelah mendpatkan minuman dingin, aku segera meninggalkan dapur.
Tinggallah Mamaku dan Willy disana. Aku tak tahu apakah mereka masih
melanjutkan lagi permainan cabul mereka atau tidak. Yang pasti sepanjang
jalan menuju kamarku, pikiranku dipenuhi dengan kontol si Willy yang
luar biasa itu.
“Gila! Gila!” rutukku dalam hati.
Kok aku bisa mikirin kontol punya cowok lain sih? Ada apa denganku ini?
Rasanya malam itu aku susah untuk tidur. Setelah membalik-balikkan badan
beratus kali di atas ranjangku yang empuk, barulah aku bisa tertidur.
Itupun setelah jarum jam menunjukkan pukul empat pagi. Sebentar lagi
pagi menjelang.
Berjumpa dengan Willy keesokan harinya aku jadi rada-rada grogi. Entah
kenapa. Mataku jadi suka mencuri pandang ke arah selangkangannya. Aku
jadi menyadari, kalau ternyata saat selangkangannya ditutupi celana
seperti itu, ukuran tonjolan diselangkangan itu, memang beda dengan
punyaku. Jauh lebih menonjol kayaknya. Gila! Gila! Rutukku lagi dalam
hati. Kok aku jadi mikirin itu aja sih?!
Si Willy sih enggak ada perubahan. Ia tetap cuek aja seperti biasanya.
Ia tak merasa ada yang aneh dengan kejadian semalam. Sepertinya ia tak
perduli kalao aku memergokinya telanjang bulat bersama Mamaku. Kayaknya,
buatnya itu hal yang lumrah saja. Dasar gigolo profesional dia.
Sebulan berlalu. Dan selama rentang waktu itu, aku jadi pengamat
selangkangan Willy jadinya. Entah kenapa, aku selalu berharap akan punya
kesempatan lagi untuk ngelihat perkakas gigolo itu. Tapi tak juga
pernah kesampaian. Sampai suatu hari.
Aku ingin berenang pagi-pagi di kolam renang yang ada di halaman
belakang rumahku. Ketika aku sampai di kolam renang mataku langsung
menangkap sebuah tontonan cabul. Si Mimi sedang ngentot dengan Willy.
Dasar nekat si Mimi. Padahal Mama kan masih ada di kamarnya pagi-pagi
begini.
Adikku yang cantik dan sexy itu sedang nungging di tepi kolam renang.
Dibelakangnya Willy asyik menggenjot kontolnya dalam lobang vagina
adikku itu. Genjotannya liar dan keras. Menghentak-hentak. Tubuh si Mimi
sampai terdorong-dorong ke depan karena hentakan itu. Kelihatannya si
Mimi keenakan banget. Bibir bawahnya digigit-gigitnya dengan giginya. Ia
menggelinjang-gelinjang sambil merem melek menikmati hajaran kontol
Willy yang luar biasa itu di memeknya.
Aku terangsang hebat. Celana renang segitiga yang kukenakan, tak lagi
bisa menampung kontolku yang membengkak. Aku tak tahu. Aku terangsang
karena apa? Apakah karena melihat persetubuhan mereka, atau karena
serius mengamati kontol besar Willy yang keluar masuk vagina si Mimi
itu. Entahlah.
Tanganku langsung mengocok batang kontolku yang sudah kukeluarkan dari
celana renangku. Kukocok sekuat tenaga. Cepat. Aku ingin segera
menumpahkan spermaku.
“Eh, Tom. Ngapain luh?” tiba-tiba kudengar suara Mimi menegurku.
Mataku yang sedang merem melek langsung menatapnya. Kulihat ia
menolehkan wajahnya yang cantik memandangku yang sedang berdiri
mengangang sambil ngocok. Willy tersenyum memandangku. Mereka tak
menghentikan permainan mereka.
“memang lo enggak bisa liat, gue lagi ngapain,” jawabku cuek. Willy tertawa kecil mendengar jawabanku.
“Gila lo,” kata Mimi. Setelah itu ia kembali asyik menikmati genjotan Willy.
Akhirnya akupun orgasme sambil memandangi Mimi dan Willy yang terus
bercinta. Tak lama setelah itu si Willy yang orgasme di mulut Mimi.
Sebelum spermanya sempat mencelat dari lobang kencingnya, Willy
menyempatkan menyabut kontolnya yang gemuk dan panjang itu dari vagina
Mimi. Lalu disuruhnya Mimi membuka mulutnya lebar-lebar menyambut
tumpahan sperma Willy yang deras. Aku benar-benar terbius birahi melihat
detik-detik Willy menumpahkan spermanya di mulut adikku itu. Entah
kenapa nafsuku terasa menggelegak melihat kontol itu menyemburkan
spermanya yang deras berulang-ulang. Kupelototi setiap detik orgasme
Willy itu tanpa berkedip sama sekali. Aku tak ingin kehilangan momen
yang indah itu sedetikpun.
“Gila lo. Adik sendiri ngentot ditonton,” kata Mimi padaku.
Saat itu kami bertiga berbaring di tepi kolam renang kelelahan. Kalau
orang melihat kami saat itu, mereka tidak mengetahui kalau kami baru
saja orgasme tadi. Yang melihat pasti hanya mengira kami sedang berjemur
menikmati cahaya matahari di tepi kolam renang.
“Habisnya elo berdua sama gilanya sih. Masak pagi-pagi ngentot disini. Ketahuan Mama gimana?” sahutku.
“Cuek. Mama enggak bakalan bangun. Sebelum ngentotin gua, Mama habis
dihajar sama si Willy. Jadi Mama pasti sedang ngorok kecapaian,” jawab
Mimi yakin.
“Benar Wil?” tanyaku.
“Yap,” sahut Willy singkat.
Dasar si Willy. Habis ngentot dengan Mama, masih sanggup ngentoti si
Mimi sebinal tadi. Benar-benar profesional nih cowok, pikirku. Itu
pengalaman keduaku melihat kontol si Willy.